Rusda Mahmud Dorong Pembentukan Provinsi Kepulauan Buton, Tegaskan Aspirasi Rakyatnya

Anggota Komisi II DPR RI Rusda Mahmud dalam kunjungan kerja Panitia Kerja (Panja) Komisi II DPR RI di Kendari. Foto: Andri/vel
PARLEMENTARIA, Kendari – Anggota Komisi II DPR RI Rusda Mahmud menegaskan komitmennya untuk memperjuangkan pemekaran Provinsi Kepulauan Buton (Kepton) dari induk Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra). Dalam kunjungan kerja Panitia Kerja (Panja) Komisi II DPR RI di Kendari, Rusda menyatakan bahwa aspirasi pembentukan Kepton bukan isu baru, melainkan perjuangan panjang yang telah lama diperjuangkan oleh masyarakat dan tokoh-tokoh daerah.
“Waktu saya maju sebagai calon gubernur dulu, Kepton ini sudah jadi bagian dari visi politik saya. Kini, sebagai anggota Komisi II DPR RI, saya jadikan ini prioritas,” ujar Rusda dengan nada emosional, Kamis (17/7/2025), saat diwawancarai usai pertemuan dengan pemerintah provinsi dan kabupaten di Ruang Pola Kantor Gubernur Sultra.
Rusda menyampaikan bahwa salah satu manfaat utama dari pemekaran ini adalah pendekatan pelayanan publik dan pembukaan lapangan kerja yang lebih luas. Ia mencontohkan bagaimana saat Lasusua masih menjadi kecamatan, anggaran yang masuk hanya sekitar Rp4 miliar per tahun. Namun, setelah menjadi Kabupaten Kolaka Utara, anggaran meningkat drastis hingga Rp1 triliun lebih.
Sementara itu, Wakil Gubernur Sultra Hugua turut memberikan dukungan moral terhadap pembentukan Kepton. Ia menegaskan bahwa secara historis, Kesultanan Buton memiliki legitimasi kuat sebagai entitas politik yang setara dengan kerajaan lain seperti Ternate, Gowa, dan Yogyakarta, yang kini telah menjadi provinsi.
“Buton berdiri lebih dari 400 tahun lalu. Ini bukan soal minta jadi daerah khusus atau ibu kota, ini soal pengakuan sejarah. Kalau Yogyakarta bisa, mengapa Buton tidak?” ujar Hugua.
Kunjungan Komisi II DPR RI kali ini juga menjadi bagian dari rangkaian kerja Panja dalam membahas Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Kabupaten/Kota, khususnya untuk Sultra yang mencakup empat kabupaten utama: Buton, Kolaka, Konawe, dan Muna. DPR RI tengah menyusun dasar hukum baru yang sesuai dengan UUD 1945, untuk menggantikan dasar hukum lama dari era RIS dan UUDS 1950.
“Penyesuaian ini penting. Tidak hanya soal nomenklatur administratif, tetapi juga pengakuan terhadap identitas dan sejarah tiap daerah. Termasuk keberadaan kerajaan dan kesultanan seperti Buton,” ungkap Rusda.
Diskusi berlangsung dinamis dengan masukan dari empat kabupaten. Muna mengangkat isu penetapan hari jadi dan karakteristik kepulauan. Buton menyoroti sejarah kesultanan dan ketidakadilan atas penggunaan aspal lokal yang belum optimal. Konawe menyinggung sengketa batas wilayah. Sementara Kolaka mengangkat soal penguatan identitas Kerajaan Mekongga.
Meski moratorium pemekaran wilayah masih berlaku, baik Rusda berharap adanya terobosan politik dari pemerintahan Presiden Prabowo Subianto. Rusda bahkan sempat tersedu-sedu saat menyampaikan kekecewaannya atas lambannya realisasi pemekaran.
“Sedih saya. Ini perjuangan panjang. Tapi sampai sekarang belum juga terwujud,” ujar Rusda dengan suara bergetar.
Menanggapi hal itu, Hugua menyebut saat ini terdapat dua Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) yang masih menjadi ganjalan, yakni terkait desain wilayah dan batas-batas administratif. Namun, ia menyebut bahwa pintu untuk membuka pemekaran kini “sudah sedikit terbuka.
Komisi II DPR RI menegaskan bahwa pembahasan 10 RUU kabupaten/kota bukan usulan Daerah Otonom Baru (DOB), tetapi lebih pada penataan ulang hukum dan pengakuan identitas daerah yang telah lama berkontribusi bagi pembangunan nasional. Dalam kerangka itu, Kepton menjadi salah satu isu yang tak bisa diabaikan, bukan hanya karena kebutuhan administratif, tetapi juga karena alasan sejarah, budaya, dan keadilan wilayah.
Rusda menutup pertemuan dengan permintaan agar seluruh masukan dari daerah dikirimkan secara tertulis paling lambat hari Senin, untuk segera dibawa ke tingkat pembahasan lanjutan di DPR RI. (man/aha)